Ragam Kesenian Suku Asmat


Suku Asmat adalah satu suku yang mendiami wilayah Papua di Irian Jaya, di Timur Indonesia. Di wilayah itu, selain suku Asmat, terdapat pula suku Dani dan suku Tobati-Enggros. Suku Asmat memiliki dua populasi yang berbeda, baik secara dialek dan cara hidupnya. Ada populasi yang hidup di pesisir pantai dan ada yang hidup di daerah pedalaman. Suku yang memiliki makanan khas berupa sagu ini, memiliki mata pencaharian sebagai pemburu binatang liar di hutan, seperti babi hutan, ular, burung kasuari, dan lain-lain.
Pada zaman dahulu, sering terjadi peperangan antarsuku atau antarkampung. Mereka saling membunuh. Jika suku Asmat membunuh seorang musuh, mayatnya dibawa ke kampung kemudian dimutilasi menjadi bagian kecil. Lalu, dibakar untuk dimakan bersama-sama penduduk kampung. Agak sadis kedengarannya, namun itulah salah satu ragam kebudayaan suku Asmat.
Suku Asmat menyimpan banyak kesenian yang unik. Mereka memiliki baju adat sendiri yang kita kenal dengan Koteka. Koteka ini terbuat dari kulit labu. Bentuknya panjang dan sempit. Berfungsi untuk menutupi organ reproduksi kaum lelaki. Begitu juga dengan koteka untuk perempuannya, sama-sama bertelanjang dada seperti lelakinya dan mengenakan rok yang terbuat dari akar tanaman kering untuk menutupi organ reproduksinya.
Iklim di Papua sangat panas dan mereka hanya menggunakan koteka. Jadi, mungkin inilah yang menyebabkan suku Asmat berkulit hitam. Selain mengenakan Koteka, suku Asmat juga pandai merias atau mewarnai tubuh mereka dengan menggunakan bahan-bahan alami yang sederhana. Untuk mendapatkan warna merah, mereka menggunakan tanah merah yang dicampur air. Begitupun jika ingin mendapatkan warna putih, mereka membuatnya dari kulit kerang berwarna putih yang dihaluskan kemudian dicampur dengan air.

Ukiran Kayu atau Patung

Suku Asmat juga sangat mahir dalam membuat ukiran kayu atau patung. Walaupun ukirannya tak terpola dengan jelas, namun setiap ukiran menggambarkan kebesaran suku Asmat dan penghargaan yang besar kepada nenek moyang mereka. Secara kasat mata, ukiran mereka bisa berbentuk perisai (dalam bahasa Asmat disebut Gembes), manusia, atau perahu.
Seni ukir suku Asmat ini amat populer hingga mancanegara. Banyak wisatawan yang mengagumi kesenian suku Asmat ini. Suku Asmat mengerti bahwa ukiran mereka memiliki nilai jual yang tinggi. Maka dari itu, banyak hasil ukirannya mereka jual. BIasanya kisaran harganya dari mulai seratus tribu sampai dengan jutaan rupiah.

Tari Tobe

Siapa yang tak tahu Tifa? Itulah alat musik tradisional suku Asmat. Bentuknya bulat memanjang mirip seperti gendang. Di permukaan tifa terdapat ukiran, menggambarkan lambang yang diambil dari patung Bis. Patung Bis adalah patung yang dianggap sakral oleh suku Asmat. Tifa ini biasa dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional suku Asmat, yaitu Tari Tobe atau yang disebut dengan Tari Perang.
Tari Tobe sering dimainkan saat ada upacara adat. Tarian ini dilakukan oleh 16 orang penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan. Dengan gerakan yang melompat atau meloncat diiringi irama tifa dan lantunan lagu-lagu yang mengentak, membuat tarian ini terlihat sangat bersemangat. Tarian ini memang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para prajurit untuk pergi ke medan perang.
Kebudayaan suku Asmat masih tergolong asli dan belum tergerus oleh arus modernisasi. Kebudayaan mereka sangat unik. Adalah tugas kita sebagai rakyat Indonesia untuk melestarikan kekayaan budaya yang berlimpah dengan cara mempelajarinya dan menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni daerah di pusat-pusat adat dan kebudayaan yang tersebar di seluruh Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCPenney Coupons